Liberation

Seminyak, 7 Maret 2021

#h dan #i semoga sehat selalu ya.

Sebelum menulis surat kali ini, aku mencari arti kata liberation dari oxford languages.

lib·er·a·tion/ˌlibəˈrāSH(ə)n/nounnoun: liberation; plural noun: liberations

  1. the act of setting someone free from imprisonment, slavery, or oppression; release.”the liberation of all political prisoners”
  2. freedom from limits on thought or behavior.

Barisan di kata nomor dua membuatku teringat oleh percakapanku dengan #h kemarin sore.

***

#h sedang rindu dengan dirinya yang dulu. Dirinya yang dulu fearless, nggak kebingungan dan memiliki self esteem yang tinggi. Postingannya di status WA nya dengan menyisipkan gambar drinya sewaktu masih tinggal di Denmark, berdiri di sebelah pohon dan di atas tumpukan salju sambil tertawa lepas.

Aku berkomentar, mungkin terpengaruh tempat tinggal?

Semenjak kembali dari Denmark, #h memutuskan untuk tinggal di Jakarta dan bekerja kantoran. Tidak ada yang salah dengan Jakarta, untuk orang yang memilihnya. Tapi aku tahu betul, bahwa kota ini tidak pernah cocok untuk tipe orang seperti aku dan #h. Perempuan-perempuan yang memiliki ketergantungan yang tinggi pada alam untuk berpikir jernih, terlebih untuk bertahan hidup. Metropolitan life is simply not for us.

Tapi kali ini #h memilih Jakarta untuk menjadi rumahnya, bertoleransi dengan segala hal tentang Jakarta yang menyenangkan dan yang melelahkan. Dulu aku pun memilih Jakarta selama 2 tahun, sebelum akhirnya aku memilih Bali lalu Sydney, tempat-tempat yang terasa lebih seperti rumah untukku.

Lalu postingan #h yang rindu dengan dirinya yang dulu yang fearless, tidak mudah kebingungan dan memiliki high self esteem aku indikasikan sebagai segala perasaanya yang berbanding terbalik dengan dirinya yang sekarang.

Fearful, confuse, with low self esteem?

Does Jakarta life made her feels this way? I don’t know. Meskipun aku mengenal baik #h dari kecil tapi aku merasa tidak punya kapasitas untuk menilai perasaanya dari satu postingan gambar di status wa nya. All I know is that she does misses her old self, and she does misses her hard yet simple life in Copenhagen.

But Jakarta did make me felt what she feels now.

Fearful, confuse, low self esteem and lonely as hell.

Lagi-lagi aku tidak akan mengkomparasi keadaanku dulu dengan #h yang sekarang. Karena kali ini bukan hanya kota Jakarta yang membuatnya memiliki perasaan seperti ini. Tapi ada juga faktor lainnya seperti pekerjaan yang repetitive dan lingkungan yang toxic. Orang-orang dengan komentarnya yang constant yang membuatnya merasa tak pernah cukup.

Society.

Tingkat stress meningkat yet you have no place to run so you have to deal with this kind of toxic environment every day of your life.

Bukan berarti kehidupanku di Bali selalu baik-baik saja tanpa judgment dari orang lain, but here, at least I have beaches and mountains to escape. Nature, my one and trully medicine.

“Go to Bali, i’ll take you to the most beautiful waterfalls and you can scream as loud as you can”.

It’s not that simple, she has big responsibility now in Jakarta. There’s this invisible chains around her that pull her to some places in Jakarta.

Aku tidak tahu advice apa yang bisa aku berikan pada #h saat ini. Aku hanya bisa berdoa agar segala urusannya dilancarkan dan ia dan suaminya bisa segera mewujudkan mimpinya sekolah dan kembali ke Denmark. Tempat dimana #h bisa menjadi dirinya sendiri, jauh dari orang-orang yang terus membuatnya merasa kecil.

Semoga ketika hari itu datang #h bisa mendapat liberation-nya. Di kota yang memberinya freedom from limits on thought or behavior. So she would feel belong and somehow enough and complete. Just like how I always see her since 24 years ago. Enough and complete.

#h tetap semangat ya, dan jaga kesehatan.

#i, maaf postingan kali ini kukhususkan untuk #h, tapi aku masih akan tetap menagih janjimu untuk mengunjungiku di Bali bulan ini!

Leave a comment