Liberation

Seminyak, 7 Maret 2021

#h dan #i semoga sehat selalu ya.

Sebelum menulis surat kali ini, aku mencari arti kata liberation dari oxford languages.

lib·er·a·tion/ˌlibəˈrāSH(ə)n/nounnoun: liberation; plural noun: liberations

  1. the act of setting someone free from imprisonment, slavery, or oppression; release.”the liberation of all political prisoners”
  2. freedom from limits on thought or behavior.

Barisan di kata nomor dua membuatku teringat oleh percakapanku dengan #h kemarin sore.

***

#h sedang rindu dengan dirinya yang dulu. Dirinya yang dulu fearless, nggak kebingungan dan memiliki self esteem yang tinggi. Postingannya di status WA nya dengan menyisipkan gambar drinya sewaktu masih tinggal di Denmark, berdiri di sebelah pohon dan di atas tumpukan salju sambil tertawa lepas.

Aku berkomentar, mungkin terpengaruh tempat tinggal?

Semenjak kembali dari Denmark, #h memutuskan untuk tinggal di Jakarta dan bekerja kantoran. Tidak ada yang salah dengan Jakarta, untuk orang yang memilihnya. Tapi aku tahu betul, bahwa kota ini tidak pernah cocok untuk tipe orang seperti aku dan #h. Perempuan-perempuan yang memiliki ketergantungan yang tinggi pada alam untuk berpikir jernih, terlebih untuk bertahan hidup. Metropolitan life is simply not for us.

Tapi kali ini #h memilih Jakarta untuk menjadi rumahnya, bertoleransi dengan segala hal tentang Jakarta yang menyenangkan dan yang melelahkan. Dulu aku pun memilih Jakarta selama 2 tahun, sebelum akhirnya aku memilih Bali lalu Sydney, tempat-tempat yang terasa lebih seperti rumah untukku.

Lalu postingan #h yang rindu dengan dirinya yang dulu yang fearless, tidak mudah kebingungan dan memiliki high self esteem aku indikasikan sebagai segala perasaanya yang berbanding terbalik dengan dirinya yang sekarang.

Fearful, confuse, with low self esteem?

Does Jakarta life made her feels this way? I don’t know. Meskipun aku mengenal baik #h dari kecil tapi aku merasa tidak punya kapasitas untuk menilai perasaanya dari satu postingan gambar di status wa nya. All I know is that she does misses her old self, and she does misses her hard yet simple life in Copenhagen.

But Jakarta did make me felt what she feels now.

Fearful, confuse, low self esteem and lonely as hell.

Lagi-lagi aku tidak akan mengkomparasi keadaanku dulu dengan #h yang sekarang. Karena kali ini bukan hanya kota Jakarta yang membuatnya memiliki perasaan seperti ini. Tapi ada juga faktor lainnya seperti pekerjaan yang repetitive dan lingkungan yang toxic. Orang-orang dengan komentarnya yang constant yang membuatnya merasa tak pernah cukup.

Society.

Tingkat stress meningkat yet you have no place to run so you have to deal with this kind of toxic environment every day of your life.

Bukan berarti kehidupanku di Bali selalu baik-baik saja tanpa judgment dari orang lain, but here, at least I have beaches and mountains to escape. Nature, my one and trully medicine.

“Go to Bali, i’ll take you to the most beautiful waterfalls and you can scream as loud as you can”.

It’s not that simple, she has big responsibility now in Jakarta. There’s this invisible chains around her that pull her to some places in Jakarta.

Aku tidak tahu advice apa yang bisa aku berikan pada #h saat ini. Aku hanya bisa berdoa agar segala urusannya dilancarkan dan ia dan suaminya bisa segera mewujudkan mimpinya sekolah dan kembali ke Denmark. Tempat dimana #h bisa menjadi dirinya sendiri, jauh dari orang-orang yang terus membuatnya merasa kecil.

Semoga ketika hari itu datang #h bisa mendapat liberation-nya. Di kota yang memberinya freedom from limits on thought or behavior. So she would feel belong and somehow enough and complete. Just like how I always see her since 24 years ago. Enough and complete.

#h tetap semangat ya, dan jaga kesehatan.

#i, maaf postingan kali ini kukhususkan untuk #h, tapi aku masih akan tetap menagih janjimu untuk mengunjungiku di Bali bulan ini!

Advertisement

Welcoming February.

Purwokerto, 24 derajat.

Hola #h dan #i. Sebenarnya aku dan #i sedikit malu baru bisa menulis kembali di blog ini setelah sekian lama. Padahal kami sendiri yang beberapa minggu lalu membuat tantangan untuk menulis blog ini setiap minggu. Tapi justru #h yang paling rajin dan memulai duluan.

Semoga kalian sehat selalu ya malam ini.

Untuk #i terimakasih sudah membeli brownies buatan ibuku. Tolong bantu promosi dong!

Untuk #h semoga segala hal berjalan baik di Jakarta sana ya. Untuk urusan kantor selalu ingat untuk menyelesaikan masalah dengan jalan diskusi terlebih dahulu.

Sebentar lagi aku akan kembali ke Bali, biasanya aku selalu bersemangat untuk kembali ke pulau dewata itu, tapi sekarang entah kenapa rasanya campur aduk. Mungkin setelah merantau 11 tahun lamanya, aku kembali menemukan sedikit kenyamanan di kota Purwokerto. Mungkin.

Tapi aku tetap harus ke Bali untuk urusan lain.

Malam ini aku mengerjakan tugas sambil memutar lagu Ode To My Family dari Cranberries di ponselku. Sambil membaca postingan #i tentang perjalanan sederhana yang kita lakukan beberapa pekan lalu ke Baturraden. Hiking ala ala yang sudah kita rencanakan jauh-jauh hari. Masuk hutan pada pukul 5 sore dan turun satu jam setelahnya. Melihat sisi kota Purwokerto dari bukit. Entah mengapa, dari ketinggian kota ini selalu terasa lebih ramah.

Aku tiba-tiba ingat suasana ini, rasa ini, dan bau ini. Ketika 10 tahun lalu kita semua kembali ke kota Purwokerto dari kota rantauan. Waktu itu kita juga berempat, berasama #f pergi ke tempat ini. #f membaca kameranya untuk mengabadikan perjalanan kita hari itu. Aku meminjam kemeja flannel milik #i karena kita semua sepakat untuk memakai luaran kemeja karena #h dan #f sudah berseragam seperti itu.

Perasaan ini terasa familiar. Hangat dan sederhana. Sebuah rasa yang harus selalu kuingat untuk menjaga kewarasanku saat jauh dari rumah. Atau ketika sedang dihabisi oleh nasib yang jarang berpihak. Rasa tidak pernah cukup yang terus menjalar di dunia yang serba modern ini tiba-tiba saja sirna. Di sana, di sudut sebuah tempat yang kita sebut, rumah.

Unhappiness

Where’s when I was young

And we didn’t give a damn

Cause we were raised

To see life as fun

And take it as we can.

#a

Halo 2021 Muach!

Baturraden, pagi di akhir pekan yang malas

Hai #a dan #h? Berharap kabar baik menyelimuti kalian. Seperti halnya aku, baik-baik saja sembari menjajal brownies racikan ibu #a yang aku suka, tidak terlalu manis.

Selamat menempuh tahun yang baru, mudah-mudahan dalam membuka lembaran baru selalu dinaungi kelapangan. Baik dan buruk yang menimpa bisa kita nikmati.

Menyenangkan ketika menutup tahun kemarin, kita bertiga dapat bersua. Lebih tepatnya berempat, barengan suami #h. Bersama kita tamasya menikmati alam ditutup santap bakso dengan pemandangan yang aduhai. Paripurna!

Di lain hari, mencicip bebek rekomendasiku. Meski sempat salah informasi, harusya pesan bebek porsi setengah biar lebih nampol. Kala malam, memesan jahe susu dan susu murni panas. Tak cukup waktu lama, minuman lekas dingin namun suasana hangat tetap terjaga melalui obrolan yang asik.

Belakangan ini, gemerlap tahun baru seakan hal biasa. Melalui malam tahun baru layaknya malam biasa. Terlebih akhir tahun 2020 pandemi masih berkeliaran. Syukurlah di malam pergantian tahun, hujan deras mengguyur membuatku tidur gasik dan nyenyak.

Layaknya ritual tahunan, resolusi di awal tahun menjadi hal yang lumrah. Resolusi tahun baru seakan menjadi momentum, pengingat menjadi pribadi lebih oke. Meski terkadang lucu, resolusi tahun baru tak jauh berbeda seperti tahun-tahun belakangan. Misalnya mandi dua kali sehari yang jadi resolusi lima tahun silam masih menjadi resolusiku tahun ini.

Yah doakan aku bisa konsisten dalam resolusi tahun 2021. Konon dalam penelitian terungkap bahwa diperlukan waktu kurang lebih 30 hari untuk membuat kebiasaan baru.

Teruntuk #h selamat merampungkan perjuangan atas kado awal tahun yang kurang menggembirakan. Kepada #a, terima kasih sudah menjadi kawan nugas selama wfh. Berharap kepindahan kembali ke Bali serta segala urusan disana dimudahkan.

#a dan #h sukses menjadi tutor IELTS, oi ajarin aku Bahasa Inggris!

Selamat Pagi!

Jakarta, 27°C

Halo #a dan #i apa kabarnya? Tidak terasa kita sudah memasuki tahun 2021 dan berdamai dengan kondisi pandemi COVID-19 yang sudah setahun lebih.

Kondisi ini tidaklah mudah. Kita semua harus beradaptasi dan bertahan agar dapat terus ada di dunia. Bosan, gejolak ingin melawan dari dalam diri, dan egoisme tentu ada tapi kita punya kemampuan untuk meredam itu dan mengalihkan energi tersebut untuk hal lain.

Pagi ini aku kembali mendefinisikan hidupku. Ternyata memulainya dengan berolahraga ringan selama 30 menit, membuat sarapan, dan mendengarkan podcast menyenangkan juga. Entah sampai kapan berlaku karena sekarang mayoritas waktuku adalah bekerja dari rumah (working from home – WFH).

Ada sebuah podcast mengenai learn and unlearn yang membuatku tertarik. Mungkin kita harus terus belajar terutama belajar menerima keadaaan dan mengubahkan menjadi momen untuk belajar hal baru. Apapun itu.

Bagaimana dengan kalian #i dan #a? Semoga pagi kalian indah dan meyenangkan ya.

#h

Berbeda.

Purwokerto 14 Juni 2020

Di sudut Coffee Brake, tempat aku dan #i biasa menghabiskan sore setelah protokol new normal di berlakukan. Kali ini aku sendiri menikmati espresso cube latte ditemani dengan lagu top 40 yang diputar berulang-ulang.

Selama tiga bulan lebih ter-lockdown di kampung halaman sendiri aku menyadari bahwa budaya minum kopi di cafe sudah menjamur di kota ini. Budaya yang sudah melekat di kehidupanku semenjak aku tinggal di Bali lalu Australia. Bagiku mengunjungi coffee shop seorang diri dengan notes dan leptopku adalah sebuah terapi. Sementara budaya meminum kopinya sendiri sudah menjadi candu. Seperti kaum milenial lainnya, biasanya aku pergi ke kedai kopi untuk menjernihkan pikiran yang ruwet dan bekerja.

Beberapa hari ini aku menghabiskan waktu bersama keponakan dan keluarga. Aku hampir lupa rasanya tinggal di Purwokerto berarti harus siap pula membagi waktu antara Ibu dan Bapak. Seharian kemarin aku berada di rumah tante karena setelah 4 bulan lamanya akhirnya om kesayangan kami pulang. Hari sebelumnya aku pergi bersama Bapak ke rumah lama kami, lalu sebelumnya lagi aku menemani Ibu makan lodeh dan membantu sepupu membuat resume untuk mendaftar pekerjaan. Benar benar pengangguran banyak acara.

Jadi hari ini aku hanya ingin sendiri saja mengerjakan segala pekerjaan yang telah kutunda beberapa minggu ini. Pekerjaan apa? Ada beberapa project yang aku buat demi mengisi waktuku di sini. Seperti menulis di blogku sendiri dan blog ini, membuat draft naskah buku (mimpiku masih sama dari dulu untuk setidaknya menerbitkan satu buku selama aku hidup. Buku yang berisi memoir kehidupanku sendiri), hingga merencanakan kepulanganku ke Sydney bulan depan. Karena katanya perbatasan Sydney akan dibuka bulan depan untuk International Student. Semoga saja. Walau rasanya campur aduk, senang bisa kembali ke perantauan. Sedih karena menjadi terbiasa hidup dengan Bapak.

Beuntungnya aku menemukan kedai kopi di sudut Purwokerto yang nyaman dengan latte yang lezat dan toast yang nikmat! Awalnya mantanku yang memberi tahu tempat ini. Mantan tapi teman, ya aku baru merasakan betapa nyamannya berteman dengan mantan. Tanpa ada rasa yang tertinggal membuat hubungannya terasa ringan. 

Untuk #h yang sudah memasuki kehidupan pernikahan dan untuk membalas tulisanmu sebelumnya, aku lagi-lagi hanya bisa mendoakan segala yang terbaik untukmu. Beradaptasi di sebuah kehidupan baru memang tidak mudah, tapi menemukan partner yang bisa diajak berdiskusi dan berjalan beriringan mudah-mudahan membuat segalanya menjadi lebih ringan. Ingat aku dan #i akan selalu ada disini jika kau butuh telinga untuk mendengar.

Untuk #i yang sepertinya sudah mendambakan kehidupan berumah tangga. Aku doakan upaya dan doamu segera membuahkan hasil. Semoga kamu menemukan wanita tanguh dan baik hati. Semoga ketika hari itu datang kalian bisa saling menerima, mencintai, menemani, menghargai, dan mensupport satu sama lain. Ingat kata saling ya. Karena hubungan selalu berjalan dua arah. Bukan satu 🙂

Untuk diriku sendiri. Perlahan sedang berusaha membuka hati

***

Sudah tiga bulan lebih aku disini. Hal baiknya tentu saja bisa dekat dengan keluarga, dan memiliki lebih banyak waktu untuk melakukan hal yang selama ini sering tertunda karena kesibukan di Sydney.  Namun berada di kampung halaman terlalu lama membuatku mengingat alasanku dulu memutuskan untuk hidup jauh dari kampungku.

Ada beberapa hal yang membuatku sepenuhnya kecewa. Banyak diantaranya adalah mengenai sistem yang absurd dan pola pikir yang toxic. Hal-hal yang membuatku memilih untuk berjarak dulu. Tapi kali ini hal-hal ini pula yang membuatku memilih untuk berbicara.

Singkat cerita ada beberapa hal yang dipersulit oleh sistem di layanan pemerintah yang seharusnya tak serumit dan sekonyol itu. Peraturan absurd yang selalu saja berdampak buruk dan merugikan kaum menengah kebawah. Menulis review atau complain tentang hal ini membuatku dibilang ‘nggak santai’ karena ‘ini kan wajar di Indonesia’. Tapi boleh kan kalau ini tak lagi wajar untukku?

Lalu bisa saja aku dikatai ‘sok-sokan padahal baru tinggal 2 tahun di luar negeri’. Untung telingaku sudah kebal dikata-katai. Karena aku nggak lagi keberatan dibilang ‘rewel’ untuk hal-hal yang dianggap mengkritik sistem yang memang patut untuk diberi masukan.

Pola pikir yang toxic? Tentu saja aku tidak mengeneralisir hal ini untuk semua orang yang ku temui di sini. Tapi jujur saja beberapa percakapan membuatku sungguh geram.

Tentu saja ada pula diskusi-diskusi menyenangkan dengan beberapa teman (ini selalu membuatku bersemangat), ada pula nostalgia masa lalu tentang jaman SMA yang membawa ingatanku terbang ke kehidupan yang sederhana tapi penuh perjuangan itu, ada pula jokes-jokes menggunakan bahasa daerah yang sudah lama kurindukan.

Namun di sisi lainnya, ada percakapan negatif yang membutku hanya bisa geleng-geleng kepala karena hal-hal ini dianggap ‘normal’. Percakapan yang ujung-ujungnya menyuduktkan seseorang yang berada baik di dalam atau di luar lingkaran. Budaya membicarakan keburukan orang yang sudah menjadi ‘basa-basi’ yang tak lagi menjadi hal yang normal bagiku.

Kemarin aku pergi ke rumah lama keluarga kami. Beberapa tetangga lama tentu saja menyambut kedatanganku dengan hangat. Menanyakan kabar dan berkomentar bahwa aku terlihat ridak berubah sejak 10 tahun yang lalu ketika pertama kali meninggalkan rumah kami. Kami lalu memasak dan bermain dengan anak-anak kecil tetangga, We had a good time of course.

Lalu tiba-tiba ada Ibu RT yang bahkan ketika aku tinggal di perumahan itu jarang mengobrol karena rumah kami jauh. Ibu itu mendekatiku, bertanya apakah aku masih jomblo. Lalu mulai berceramah di depan orang-orang agar aku segera mencari suami untuk menjadi imamku. Lalu tanpa bertanya umurku, ia mulai berbicara mengenai sistem produksi perempuan. Dan berkata

“Karena kamu perempuan makanya harus segera menikah”

“Kalau laki boleh menunda menikah bu”

“Boleh”

“Kalau perempuan”

“Nggak boleh”

Apa kalau aku bilang, ‘Ibu kok sexist’ beliau akan mengerti? Tentu saja aku nggak menentangnya. Lalu aku bilang

“Bu, nanti kalau saya ketemu orang yang mencintai saya dan saya juga cinta sama dia pasti saya menikah”

Ibu itu diam. Lalu mulai bertanya tentang kakak ku, apakah ia sudah punya momongan. Wah belum? Lama ya. Lalu mulai mengomentarinya. Another target buat dibicarakan. What?

Hal ini dikenal sebagai basa basi orang tua kepada anak muda.

#WARNINGINVASIONOFPRIVACY

Sebenarnya hal ini tidak lagi membuat saya kesal. Karena sudah terlalu sering menghadapinya dan tahu betul cara menghadapinya.

Kalau Ibu ku ada disitu pasti dia akan bilang “Doain anakku ya”

:’)

Karena menurutku urusan berelasi adalah murni urusan pribadi. Tapi bukankan di sini ‘Normal’ membahas urusan pribadi #gelenggeleng.

Lalu ada pula percakapan percakapan yang selalu berakhir negatif. Segala percakapan yang selalu berakhir dengan pengkelompokan manusia sebagai baik dan buruk, benar dan salah, cantik dan jelek, kaya dan miskin. Segala hal yang dinilai dari satu sudut pandang saja yang berujung dengan penilaian yang kurang adil. Membuat suatu kelompok lebih superior dan berhak untuk dihargai daripada kelompok lainnya. Pengkotak-kotakan manusia yang secara sadar atau tidak sedikit demi sedikit membentuk jurang diskriminasi.

Penggiringan percakapan ke pengkelompokan ini, seperti segalanya harus dilabeli baik dan buruk biasanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki informasi dan pengetahuan luas atau kemampuan berdiskusi yang baik. Yang berakhir pada judgement yang kurang adil bagi sebagian kelompok, karena menjadi superior adalah satu-satunya jalan untuk terlihat besar dan benar. Bahkan mengetahui fakta ini ada di lingkaran sosial dan menjadi hal yang wajar adalah hal yang menyedihkan.

Awalnya aku akan menghentikan percakapan dan mencoba untuk membuat diskusi yang lebih positif dengan memandang sesuatu dari berbagai sudut pandang dan mencoba mengarahkan pembicaraan untuk lebih netral dan adil. Tapi akhir-akhir ini aku memilih untuk diam. Meyakinkan  kepada diri saya sendiri bahwa bersuara memang baik, tetapi kalau aku sudah terlalu lelah dan muak, terkadang aku boleh memilih untuk diam dan tidak terlibat di dalamnya. Mungkin bahasa kami memang sudah berbeda. Dan tak ada yang perlu di paksakan. Diam dan berjarak adalah juga sebuah upaya untuk merawat diri.

Sudah hidup selama 28 tahun membuat beberapa hal tak bisa lagi ku toleransi. Bahkan ketika pada akhirnya di lingkungan ini aku akan mendapat label sebagai ‘uptight’ atau tidak santai. Aku tidak keberatan. Masih banyak lingkaran positif yang melihat dan membahas sesuatu secara adil dengan informasi yang tidak setengah-setengah. Budaya judgemental, superioritas dan diskriminatif tak bisa lagi menjadi hal yang ‘normal’ bagiku.

Aku bukannya ingin mengkritisi habis-habisan tentang hal-hal yang kutemui. After all budaya ini sudah ada sejak dulu. Tetapi kalau kita tidak juga meyadari ketidakberesan dalam sistem bersosial ini hal yang lebih banyak membawa keburukan daripada kebaikan ini akan selalu dianggap normal. I know we can’t change people, but we can change ourself and our perspective. To be better, to be fair. To see human as human.

Dulu berbicara tentang hal ini saja aku tak berani karena takut dijauhi. Karena mengkritisi sesuatu yang tak pas di negara kita adalah hal yang ‘tak normal’. Namun kali ini biarkah aku bersuara selantang-lantangnya. Tanpa merasa bahwa ‘aku yang gila’. Agar aku, kamu dan kita semua bisa menjadi individu yang lebih baik lagi. Bukankan dunia akan menjadi tempat yang lebih layak, menyenangkan dan aman untuk dihuni oleh manusia manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai saling menghargai, mengasihi dan toleransi yang tinggi.

Semoga saja.

🙂

Sudah itu saja yang ingin aku sampaikan di postingan ini. Untuk #h dan #i. Sehat sehat dan selalu bahagia ya. Dimanapun kalian berada, ada banyak orang yang selalu mendoakan kebahagiaan kalian.

Penuh rindu

#a

Diam.

Rasa kurang nyaman ketika berbicara dengan seseorang yang berbeda pandangan dengan kita seringkali terjadi. Hal ini sangatlah wajar terjadi dalam sebuah obrolan. Menjadi tidak wajar jika pemahaman yang diyakini seseorang itu menjadikannya menjadi seseorang yang sangat sempit dalam melihat sesuatu.
Bahkan sampai membedakan manusia menurut tingkatan yang sudah sepantasnya tidak dilakukan diera sekarang ini. Contohnya, berpendapat jika seseorang yang dianggapnya cantik pantas mendapatkan apapun karena parasnya. Sedangkan yang lain tidak. Jika ini hanya menjadi sebuah pemahaman pribadi, silahkan. Namun, alangkah baiknya jika pemahaman tersebut tidak digaungkan untuk mendapatkan dukungan sekadar agar di-iya-kan orang lain.
Obrolan bisa menjadi tempat diskusi. Jika pesertanya berkendak demikian. Tapi tujuannya bukan untuk di-iya-kan agar cepat selesai atau mencari siapa yang benar. Melainkan agar kita lebih terbuka dengan pendapat orang lain dan bisa megambil kebaikan dari sana. Seseorang yang mungkin terbiasa berdiskusi bisa jadi sedikit enggan berkomentar untuk sekadar iya. Melainkan lebih pada mendengarkan apa yang ada. Atau bahkan mempertanyakan bagaimana pendapat tersebut dapat terbentuk?
Saya mengawali tahun 2020 dengan menyadari bahwa sebuah relasi tidak bisa dipaksakan membuat saya tersadar jika diam adalah sebuah pilihan. Sebuah proses panjang yang akhirnya dilakukan karena sudah saatnya kita hidup damai tanpa merasa mendapatkan paksaan. Paksaan untuk meng-iya-kan pendapat agar terlihat baik atau yang lainnya. Atau mungkin paksaan untuk tetap diam ketika seseorang menormalisasi sesuatu yang menurut kita tidak normal. Ketika menonton Netflix, Francis Mallmann berkata ketika bertemu dengan seorang mantan rekan bisnisnya dahulu,

 “I seldom invite people to have lunch or dinner with me. But they are really chosen. Because I can’t spend time with people that I don’t enjoy. I can’t do it anymore as theater. I make choices, and that’s a beautiful thing about growing up, learning to say no. In a nice way, but you say no. No, it’s not that I don’t like you. We’ve chosen different styles of life. But the truth is, it’s not that you bore me, but I don’t enjoy talking to you anymore and I don’t want to fight with you, but you know there is nothing in common between your life and mine nowadays.”

Kira-kira, kalimat tersebut sudah yang mewakili apa yang sebenarnya ingin saya sampaikan. Menjadi dewasa bisa dilakukan namun tidaklah semudah memalingkan muka. Semoga ini bisa menjadi pelajaran untuk pribadi kita. Tidak berkomunikasi bukan berarti tidak suka. Bukan memutus silaturahmi juga. Ini hanyalah hal terakhir yang dapat dilakukan seorang manusia jika sudah tidak tau harus bagaimana lagi. Kita harus saling menjaga perasaan masing-masing individu.

Jangan sampai proses komunikasi terus terjadi namun hasilnya malah menyakiti salah satu pihak. Kita seharusnya terus belajar bagaimana cara berkomunikasi dengan baik bukan dengan mengacuhkan namun menghadapi dan mengatakan yang sejujurnya dengan cara yang lebih baik lagi. Karena ngobrol adalah salah satu caranya. Jika ingin terus dicoba dan dilakukan. Jika tidak? Diam dan berhenti.

 

#h

Titik Awal

Hi #a dan #i apa kabarnya? Semoga dalam keadaan baik dan bahagia bersama keluarga tercinta dikala pandemi melanda.

Dunia terkadang sangat lucu. Setelah postinganku terakhir pada 2018 lalu, aku memulai kehidupanku dengan lebih banyak mengenal orang serta mendekat pada Tuhan. Karena aku yakin, hidup tak melulu untuk urusan di dunia saja. Sudah sejak lama aku mencari arti hidup di dunia. Sibuk mencari ketenangan yang tak mudah aku temukan selama ini di manapun aku berada. Belakangan aku mulai menemukannya di sepertiga malam terakhir ketika hanya aku dan Tuhanku berdua saja. Hal ini pun berulang kembali padaku beberapa waktu belakangan ini.

Flashback ke awal tahun 2018 tepatnya bulan Februari aku mendapatkan banyak kejutan. Seseorang yang baru kukenal dari Hongaria tiba-tiba beritikad baik untuk melamar melalui media surat yang tertahan di Føtex Frederikssundsvej 284, Copenhagen karena aku pindah rumah dan baru kubaca ketika pulang dari liburan dari mencari aurora bersama seorang kawang di Stockholm. Disaat bersamaan, salah seorang senior temanku di kampus dulu, sebut saja dia itu Mas, memperkenalkan dirinya disuatu sore ketika aku berada di Stockholm Central Station yang sedang menunggu seorang teman untuk makan malam bersama. Disisi lain, Abang datang lagi dengan kata-kata manisnya serta kenyamanan yang mungkin aku rindukan.

Singkat cerita, di akhir tahun 2019 aku memutuskan untuk merencanakan ke jenjang yang lebih mengerikan, yaitu pernikahan, bersama Mas. Kenapa mengerikan? Karena aku tidak pernah paham betul bagaimana konsep sebuah keluarga yang utuh dan berfungsi. Aku hanya meyakini kalau keputusan yang ku ambil ini karena aku ingin beribadah disisa usiaku. Klise. Tapi pada kenyataannya inilah yang terjadi pada diriku. Bukan berarti aku tidak yakin dengan Mas. Tapi aku sadar betul, aku hanyalah seorang yang kebetulan hadir pada kehidupan Mas. Tidak lebih baik atau mungkin lebih buruk dari semua masa lalunya.

Apakah setelah itu semua berjalan baik-baik saja?

Kehidupan masa lalu Mas yang sangatlah bertentangan dengan prinsip hidupku tiba-tiba bermunculan kehadapanku. Beberapa kali bahkan sering kali aku menangis tak hanya tentang bahasan mengenai masa lalu tetapi juga karena penyesuaian kehidupan setelah pernikahan untukku. Sejak dulu, aku terbiasa pergi meninggalkan masalah karena aku malas berurusan dengan hal-hal melankolis karena sebuah hubungan. If you do not want to stay, then please go. I will definitely fine with your decision. Itulah konsep kehidupan yang aku anut selama ini. Sayangnya, dalam sebuah pernikahan tidaklah semudah itu. Semua ada konsekuensi dari sikap egois tiap individu yang terlibat dalam sebuah hubungan tersebut. Aku belajar untuk tidak egois dan melihat dari sisi yang lain, sejak itu.

Aku mulai bertanya pada Allah, apakah makna dibalik semua ini? Ingin rasanya pergi mencari bantuan untuk mengatasi kondisiku yang boleh dibilang, sangat kaget dengan segala hal baru setelah pernikahan. Hampir dibilang, aku lelah. Jengah rasanya karena masih harus berurusan dengan masa lalu yang sudah tak berarti namun masih saja ada yang datang menyapa ke kehidupan kami berdua.

Hingga akhirnya aku mengingat masa ditahun 2018 ketika aku ingin memulai segala sesuatunya dari awal. Mendekat pada Tuhan pada waktu tertentu mencurahkan semua kegelisahan dalam hati akhirnya ku lalukan. Aku sampai pada tahap yang memaksaku ingat bahwa sebuah pernikahan adalah sebuah kesepakatan antara dua orang dewasa yang siap berjalan bersama hingga ajal menjemput untuk terus beribadah pada Tuhan. Aku memutuskan untuk fokus pada hidupku yang sekarang sebagai seorang individu dan juga seorang istri. Masa lalu ada bukan untuk membelenggu masa kini tetapi untuk kujadikan pelajaraan untuk masa yang akan datang. Menikah bukan perkara cinta melulu. Logika pun digunakan dan pastinya kukembalikan lagi pada pertanyaan yang mudah untuk ditanyakan tapi bisa jadi sulit untuk dijawab, “Mengapa aku memilih untuk menikah padahal aku tau bahwa aku akan tetap baik-baik saja jika aku memilih untuk sendirian? Toh aku masih bisa beribadah jika sendirian. Mengapa demikian?” Deretan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya mengisi hariku dengan semangat serta hal-hal positif yang semoga bisa bertahan hingga nanti. Hingga waktu memaksa untuk berhenti dengan sendirinya.

Beginilah aku menghabiskan waktuku. Selamat menghabiskan waktu, #a dan #i.

Aku harap kalian segera memberikanku kado pernikahanku. Sebentar lagi, aku anniversary dan aku tidak bisa mudik tahun ini.

 

Indonesia,  31ºC

#h

Penipu Ulung

Baturraden, di bawah bulir hujan.

 

“waktu seperti penipu ulung, ia pandai mengelabui kita”

Dua tahun absen, kembali mengisi blog.

Aku ingat. Perjumpaan terakhir dengan #h di awal tahun ini. Petang hari ketika #h rampung mengadakan pertemuan di dekat kantorku, ia pun kemudian menyambangiku. “Sembari membeli lauk santap malam buat sang suami”, ucap #h melalui pesan singkatnya. Bergegas ku ajak #h menuju kantin yang berada di belakang kantorku.

#h menjatuhkan pilihannya ke lapak kwetiau milik Pak Gendut di ujung pojok kiri. Ia pun memesan dua porsi dibungkus. Seraya mananti pesanannya matang #h sedikit berbagi kisahnya sebagai seorang istri. Memintal asmara, merajut renjana menjadikan sulaman kehangatan bersama sang suami. Obrolan tidak berselang lama memang, adzan maghrib membahana memaksa kita untuk balik. Sebelum pulang, seperti biasa #h menumpang shalat di kantorku.

Ohya lupa, aku dan #i belum memberikan bingkisan pernikahan #h. Teman macam apa? wqwq

Sementara itu, bulan lalu aku baru bertemu #a di Warung Tantene, kedai ayam goreng kenamaan di Purwokerto. Awalnya berencana bertemu di kedai kopi milik rekan SMA namun gagal karena aku telat. Btw, selamat #a selaku CEO kedai kopi di Pulau Dewata. Proud!

Sebelumnya pula aku dan seorang kawan SMA ku menjemput #a di Tangerang. Selang sehari ia mendarat dari Australia-Bali. Kita menyempatkan diri mampir ke Cilegon, menemui kawan lama di bangku sekolah menengah akhir. Saat balik di kala malam melintas jalan tol yang cukup padat kita bertiga melakukan carpool karaoke, mendendangkan lagu-lagu patah hati. Hujan membuatnya semakin sempurna.

“Sudah terlalu lama sendiri, sudah terlalu lama aku asik sendiri” oleh Kuntoaji. Makjleb.

Update kehidupan, saat ini semesta sedang pilu. Pandemi Covid-19 menyerbu belahan dunia, tak terkecuali bumi pertiwi. Tiga minggu sudah aku bekerja dari rumah. Dua minggu pertama aku isolasi diri di rumah kakakku yang kosong, mengingat kepulanganku dari Jakarta yang sudah masuk zona merah. Aku memposisikan diriku sebagai Orang Dalam Pengawasan (ODP). Sesekali aku pulang ke rumah, mengambil lauk pauk.

Sabar #h untuk taun ini sepertinya kamu gagal mudik kembali. Teruskan pekerjaanmu membangun rumah di The Simps 4. Rencana singgah #a selama sebulan di Indonesia menjadi diperpanjang, selamat menikmati.

Semoga pemerintah lekas mengeluarkan kebijakan penanganan pandemi ini. Semoga masyarakat taat menjalani aturan yang berlaku. Bagi rekan yang bekerja dari rumah jangan mengeluh akan bosan melanda. Sedangkan yang tetap harus bekerja dari luar tetap semangat dan jaga kondisi. Semoga kolega medis sebagai garda terdepan diberi kekuatan dan keselamatan.

Kali ini jua, semoga waktu lekas menipu kita. Wabah ini lekas hilang, semesta pun kembali bersorai.

 

#i

Pulang

Sudah hampir dua tahun setelah postingan terakhir di Blog ini. Tulisan  #h yang baru saja belajar melepaskan.

Sejak hari itu hingga kini, banyak sekali yang terjadi. Biar aku rangkum ya.

#h sudah kembali ke Indonesia setelah mendapatkan gelar masternya dari Copenhagen University. Kami bangga padamu #h

#i masih di Jakarta menjadi pegawai pemerintahan yang baik

Sementara aku sudah memutuskan untuk tetap menetap di Australia untuk bersekolah.

Sementara untuk urusan asmara. #h telah melabuhkan kisah cintanya pada seseorang yang ia temui di Denmark. #i masih terus mencari, sementara aku sudah lelah patah hati.

Tapi ada satu hal yang sama-sama kami fokuskan sekarang. Untuk tetap berada di rumah di tengah pandemi Corona yang kami harapkan bisa segera berakhir.

Satu bulan yang lalu ketika aku memutuskan untuk berlibur di Indonesia sebelum sekolah mulai, aku tak pernah menyangka bahwa keadaan menjadi se gawat ini. Sehingga bepergian menjadi hal yang beresiko tinggi, untuk diri sendiri dan orang lain. Dan berdiam di rumah adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan. Untuk keselamatan orang banyak dan untuk berkontribusi terhadap penanganan pandemi ini. Hal yang paling kusyukuri adalah, ketika segalanya menjadi semakin sulit. Untuk bepergian ataupun untuk sekadar hidup, aku telah berada di rumah Bapak. Ketika Australia menutup perbatasannya beberapa minggu lalu selama kurang lebih enam bulan kedepan. Aku sudah berada di rumah. Kali ini untuk waktu yang lama.

 

Bahwa setelah perjalanan panjang, aku akhirnya pulang.

Aku dan berjuta-juta orang di seluruh dunia ini akhirnya pun pulang.

Agar bumi dapat sejenak beristirahat.

 

Stay safe #h dan #i.

Jangan lupa mencuci tangan

 

#a

The end.

Melepaskan bukan berarti kalah

Kalah tak melulu payah

Gunakan rasa seperlunya dan logika semampunya agar hati lebih kokoh

Selamat melanjutkan hidup masing-masing dan jangan mentok di satu arah

Let people go from our life is indeed difficult but sometimes you need to do it to continue your life. I did it before, and I believe that you will pass it quickly. You taught me how to do it on 2016. Now it’s your turn. Please, let me go.

Dear Abang di Jepang,

Silaturahmi bisa terus berlanjut seperti pintamu tetapi kita harus belajar untuk ‘sewajarnya’ karena sudah ada ‘hati-hati’ yang seharusnya kita jaga perasaannya masing-masing. Silahkan jika ingin berkabar namun jangan sampai berharap besar.

Terima kasih atas waktu dan pelajaran hidupnya dulu.

Good luck for your PhD journey.

Eropa, 17ºC

#h