Purwokerto 14 Juni 2020
Di sudut Coffee Brake, tempat aku dan #i biasa menghabiskan sore setelah protokol new normal di berlakukan. Kali ini aku sendiri menikmati espresso cube latte ditemani dengan lagu top 40 yang diputar berulang-ulang.
Selama tiga bulan lebih ter-lockdown di kampung halaman sendiri aku menyadari bahwa budaya minum kopi di cafe sudah menjamur di kota ini. Budaya yang sudah melekat di kehidupanku semenjak aku tinggal di Bali lalu Australia. Bagiku mengunjungi coffee shop seorang diri dengan notes dan leptopku adalah sebuah terapi. Sementara budaya meminum kopinya sendiri sudah menjadi candu. Seperti kaum milenial lainnya, biasanya aku pergi ke kedai kopi untuk menjernihkan pikiran yang ruwet dan bekerja.
Beberapa hari ini aku menghabiskan waktu bersama keponakan dan keluarga. Aku hampir lupa rasanya tinggal di Purwokerto berarti harus siap pula membagi waktu antara Ibu dan Bapak. Seharian kemarin aku berada di rumah tante karena setelah 4 bulan lamanya akhirnya om kesayangan kami pulang. Hari sebelumnya aku pergi bersama Bapak ke rumah lama kami, lalu sebelumnya lagi aku menemani Ibu makan lodeh dan membantu sepupu membuat resume untuk mendaftar pekerjaan. Benar benar pengangguran banyak acara.
Jadi hari ini aku hanya ingin sendiri saja mengerjakan segala pekerjaan yang telah kutunda beberapa minggu ini. Pekerjaan apa? Ada beberapa project yang aku buat demi mengisi waktuku di sini. Seperti menulis di blogku sendiri dan blog ini, membuat draft naskah buku (mimpiku masih sama dari dulu untuk setidaknya menerbitkan satu buku selama aku hidup. Buku yang berisi memoir kehidupanku sendiri), hingga merencanakan kepulanganku ke Sydney bulan depan. Karena katanya perbatasan Sydney akan dibuka bulan depan untuk International Student. Semoga saja. Walau rasanya campur aduk, senang bisa kembali ke perantauan. Sedih karena menjadi terbiasa hidup dengan Bapak.
Beuntungnya aku menemukan kedai kopi di sudut Purwokerto yang nyaman dengan latte yang lezat dan toast yang nikmat! Awalnya mantanku yang memberi tahu tempat ini. Mantan tapi teman, ya aku baru merasakan betapa nyamannya berteman dengan mantan. Tanpa ada rasa yang tertinggal membuat hubungannya terasa ringan.
Untuk #h yang sudah memasuki kehidupan pernikahan dan untuk membalas tulisanmu sebelumnya, aku lagi-lagi hanya bisa mendoakan segala yang terbaik untukmu. Beradaptasi di sebuah kehidupan baru memang tidak mudah, tapi menemukan partner yang bisa diajak berdiskusi dan berjalan beriringan mudah-mudahan membuat segalanya menjadi lebih ringan. Ingat aku dan #i akan selalu ada disini jika kau butuh telinga untuk mendengar.
Untuk #i yang sepertinya sudah mendambakan kehidupan berumah tangga. Aku doakan upaya dan doamu segera membuahkan hasil. Semoga kamu menemukan wanita tanguh dan baik hati. Semoga ketika hari itu datang kalian bisa saling menerima, mencintai, menemani, menghargai, dan mensupport satu sama lain. Ingat kata saling ya. Karena hubungan selalu berjalan dua arah. Bukan satu 🙂
Untuk diriku sendiri. Perlahan sedang berusaha membuka hati
***
Sudah tiga bulan lebih aku disini. Hal baiknya tentu saja bisa dekat dengan keluarga, dan memiliki lebih banyak waktu untuk melakukan hal yang selama ini sering tertunda karena kesibukan di Sydney. Namun berada di kampung halaman terlalu lama membuatku mengingat alasanku dulu memutuskan untuk hidup jauh dari kampungku.
Ada beberapa hal yang membuatku sepenuhnya kecewa. Banyak diantaranya adalah mengenai sistem yang absurd dan pola pikir yang toxic. Hal-hal yang membuatku memilih untuk berjarak dulu. Tapi kali ini hal-hal ini pula yang membuatku memilih untuk berbicara.
Singkat cerita ada beberapa hal yang dipersulit oleh sistem di layanan pemerintah yang seharusnya tak serumit dan sekonyol itu. Peraturan absurd yang selalu saja berdampak buruk dan merugikan kaum menengah kebawah. Menulis review atau complain tentang hal ini membuatku dibilang ‘nggak santai’ karena ‘ini kan wajar di Indonesia’. Tapi boleh kan kalau ini tak lagi wajar untukku?
Lalu bisa saja aku dikatai ‘sok-sokan padahal baru tinggal 2 tahun di luar negeri’. Untung telingaku sudah kebal dikata-katai. Karena aku nggak lagi keberatan dibilang ‘rewel’ untuk hal-hal yang dianggap mengkritik sistem yang memang patut untuk diberi masukan.
Pola pikir yang toxic? Tentu saja aku tidak mengeneralisir hal ini untuk semua orang yang ku temui di sini. Tapi jujur saja beberapa percakapan membuatku sungguh geram.
Tentu saja ada pula diskusi-diskusi menyenangkan dengan beberapa teman (ini selalu membuatku bersemangat), ada pula nostalgia masa lalu tentang jaman SMA yang membawa ingatanku terbang ke kehidupan yang sederhana tapi penuh perjuangan itu, ada pula jokes-jokes menggunakan bahasa daerah yang sudah lama kurindukan.
Namun di sisi lainnya, ada percakapan negatif yang membutku hanya bisa geleng-geleng kepala karena hal-hal ini dianggap ‘normal’. Percakapan yang ujung-ujungnya menyuduktkan seseorang yang berada baik di dalam atau di luar lingkaran. Budaya membicarakan keburukan orang yang sudah menjadi ‘basa-basi’ yang tak lagi menjadi hal yang normal bagiku.
Kemarin aku pergi ke rumah lama keluarga kami. Beberapa tetangga lama tentu saja menyambut kedatanganku dengan hangat. Menanyakan kabar dan berkomentar bahwa aku terlihat ridak berubah sejak 10 tahun yang lalu ketika pertama kali meninggalkan rumah kami. Kami lalu memasak dan bermain dengan anak-anak kecil tetangga, We had a good time of course.
Lalu tiba-tiba ada Ibu RT yang bahkan ketika aku tinggal di perumahan itu jarang mengobrol karena rumah kami jauh. Ibu itu mendekatiku, bertanya apakah aku masih jomblo. Lalu mulai berceramah di depan orang-orang agar aku segera mencari suami untuk menjadi imamku. Lalu tanpa bertanya umurku, ia mulai berbicara mengenai sistem produksi perempuan. Dan berkata
“Karena kamu perempuan makanya harus segera menikah”
“Kalau laki boleh menunda menikah bu”
“Boleh”
“Kalau perempuan”
“Nggak boleh”
Apa kalau aku bilang, ‘Ibu kok sexist’ beliau akan mengerti? Tentu saja aku nggak menentangnya. Lalu aku bilang
“Bu, nanti kalau saya ketemu orang yang mencintai saya dan saya juga cinta sama dia pasti saya menikah”
Ibu itu diam. Lalu mulai bertanya tentang kakak ku, apakah ia sudah punya momongan. Wah belum? Lama ya. Lalu mulai mengomentarinya. Another target buat dibicarakan. What?
Hal ini dikenal sebagai basa basi orang tua kepada anak muda.
#WARNINGINVASIONOFPRIVACY
Sebenarnya hal ini tidak lagi membuat saya kesal. Karena sudah terlalu sering menghadapinya dan tahu betul cara menghadapinya.
Kalau Ibu ku ada disitu pasti dia akan bilang “Doain anakku ya”
:’)
Karena menurutku urusan berelasi adalah murni urusan pribadi. Tapi bukankan di sini ‘Normal’ membahas urusan pribadi #gelenggeleng.
Lalu ada pula percakapan percakapan yang selalu berakhir negatif. Segala percakapan yang selalu berakhir dengan pengkelompokan manusia sebagai baik dan buruk, benar dan salah, cantik dan jelek, kaya dan miskin. Segala hal yang dinilai dari satu sudut pandang saja yang berujung dengan penilaian yang kurang adil. Membuat suatu kelompok lebih superior dan berhak untuk dihargai daripada kelompok lainnya. Pengkotak-kotakan manusia yang secara sadar atau tidak sedikit demi sedikit membentuk jurang diskriminasi.
Penggiringan percakapan ke pengkelompokan ini, seperti segalanya harus dilabeli baik dan buruk biasanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki informasi dan pengetahuan luas atau kemampuan berdiskusi yang baik. Yang berakhir pada judgement yang kurang adil bagi sebagian kelompok, karena menjadi superior adalah satu-satunya jalan untuk terlihat besar dan benar. Bahkan mengetahui fakta ini ada di lingkaran sosial dan menjadi hal yang wajar adalah hal yang menyedihkan.
Awalnya aku akan menghentikan percakapan dan mencoba untuk membuat diskusi yang lebih positif dengan memandang sesuatu dari berbagai sudut pandang dan mencoba mengarahkan pembicaraan untuk lebih netral dan adil. Tapi akhir-akhir ini aku memilih untuk diam. Meyakinkan kepada diri saya sendiri bahwa bersuara memang baik, tetapi kalau aku sudah terlalu lelah dan muak, terkadang aku boleh memilih untuk diam dan tidak terlibat di dalamnya. Mungkin bahasa kami memang sudah berbeda. Dan tak ada yang perlu di paksakan. Diam dan berjarak adalah juga sebuah upaya untuk merawat diri.
Sudah hidup selama 28 tahun membuat beberapa hal tak bisa lagi ku toleransi. Bahkan ketika pada akhirnya di lingkungan ini aku akan mendapat label sebagai ‘uptight’ atau tidak santai. Aku tidak keberatan. Masih banyak lingkaran positif yang melihat dan membahas sesuatu secara adil dengan informasi yang tidak setengah-setengah. Budaya judgemental, superioritas dan diskriminatif tak bisa lagi menjadi hal yang ‘normal’ bagiku.
Aku bukannya ingin mengkritisi habis-habisan tentang hal-hal yang kutemui. After all budaya ini sudah ada sejak dulu. Tetapi kalau kita tidak juga meyadari ketidakberesan dalam sistem bersosial ini hal yang lebih banyak membawa keburukan daripada kebaikan ini akan selalu dianggap normal. I know we can’t change people, but we can change ourself and our perspective. To be better, to be fair. To see human as human.
Dulu berbicara tentang hal ini saja aku tak berani karena takut dijauhi. Karena mengkritisi sesuatu yang tak pas di negara kita adalah hal yang ‘tak normal’. Namun kali ini biarkah aku bersuara selantang-lantangnya. Tanpa merasa bahwa ‘aku yang gila’. Agar aku, kamu dan kita semua bisa menjadi individu yang lebih baik lagi. Bukankan dunia akan menjadi tempat yang lebih layak, menyenangkan dan aman untuk dihuni oleh manusia manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai saling menghargai, mengasihi dan toleransi yang tinggi.
Semoga saja.
🙂
Sudah itu saja yang ingin aku sampaikan di postingan ini. Untuk #h dan #i. Sehat sehat dan selalu bahagia ya. Dimanapun kalian berada, ada banyak orang yang selalu mendoakan kebahagiaan kalian.
Penuh rindu
#a